Muslim Indonesia di Bawah Tirani Media

Muslim Indonesia di Bawah Tirani
Media?

Tak mudah menulis dengan jernih di masa
kebangkitan agama meski sudah
menggunakan istilah “Aliansi Jurnalis untuk
Keberagaman”

Oleh: Sarah Larasati Mantovani

SECARA tidak sengaja, belum lama ini saya
membaca artikel tulisan Andy Budiman
berjudul “Dilema Media di Era Kebangkitan
Agama Tersandera Tirani Mayoritas” di
sebuah media online di Jerman, Qantara.de.
Meski agak lama, namun artikel ini tetap menarik dijawab. Andy, yang juga pendiri Serikat Jurnalis
untuk Keberagaman (SEJUK), ini berusaha
memutar balikkan fakta dengan cara
menuduh bahwa media sekarang
terbelenggu oleh mayoritas Islam.
Menurutnya, media tidak mampu berbuat apa-apa ketika kaum ‘minoritas’ mengalami
tirani secara terus menerus dari pihak
‘mayoritas’. Sekedar diketahui, SEJUK , diluncurkan
Januari 2011 di Jakarta Media Center, dengan
menggelar diskusi bertema ”Prospek
Demokrasi dan Kebebasan 2010”
mendatangkan tokoh-tokoh paham liberal;
Ulil Abshar Abdalla, Direktur Indonesian Conference on Religion and Peace Siti Musdah
Mulia dan Pemimpin Redaksi The Jakarta Post
Endy M Bayuni. Dalam tulisannya, Andy Budiman menulis
‘kebangkitan kembali agama di
Indonesia’ yang dinilai penuh dilema.
Dilema, karena di balik kebangkitan Islam di
Indonesia kini sedang dibelenggu sikap
konservatif.

Sayang, dibalik tulisannya yang mengada-
ada ini, justru tidak ‘menyehatkan’ di saat
umat beragama berusaha menjalin
kerukunan dengan taat pada hukum yang
berlaku. Simak saja, pada alinea kedua di sub judul
“Media di tengah kebangkitan agama”,
Andy Budiman mengutip James Madison
dalam Federalist Papers yang menulis:
“Bahaya penindasan dalam demokrasi
datang dari kelompok mayoritas.” Ia juga mengamini pendapat Alexis de Tocqueville
yang mengingatkan bahaya bernama tirani
mayoritas. Patut dipertanyakan di sini, mayoritas mana
yang dimaksud oleh James Madison dan
Alexis de Tocqueville yang dikutip oleh Andy
tersebut? Padahal, jika agama mayoritas
yang dimaksud itu adalah Islam, maka hal ini
bertentangan dengan database agama-agama dunia dan laporan Majalah TIME. Jika kita mau melihat kembali data secara
global, justru jumlah umat Islam kalah
dengan populasi Kristen. Jumlah penganut
agama terbesar di dunia masih ditempati
oleh Kristen di peringkat pertama dengan
jumlah penganut sekitar 2,25 miliar. Sedangkan menurut laporan Majalah TIME
yang berjudul Christianity’s Surge in
Indonesia yang ditulis oleh Hannach Beech
(26/4/2010) bahwa jumlah umat Kristen di
Asia meledak menjadi 351 juta pengikut pada
tahun 2005, naik dari 101 juta pada tahun 1970 (Berdasarkan proyeksi Database
Agama-Agama Dunia tahun 2005, jumlah
orang Kristen di dunia sekitar 2,25 miliar. Studi baru berdasarkan laporan berjudul
“Mapping the Global Muslim Population”, yang
dilakukan Pew Forum on Religion & Public
Life, saat ini ada sekitar 1,57 miliar orang
Muslim di dunia. Jumlah itu merupakan 23
persen dari total penduduk dunia yang mencapai 6,8 miliar). Oleh sebab itu, dalam konteks global
siapakah yang disebut mayoritas dan
minoritas ?

Yang lebih menggelikan lagi, Andy Budiman
juga mengutip berita fitnah kasus Aliansi
Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama &
Berkeyakinan (AKKBB) tahun 2008, di mana
ada seorang wartawati yang bangga berfoto
dengan Munarman, Komandan Laskar Islam kala itu. “Ketika tragedi Monas pecah dua tahun
silam, seorang wartawati pulang ke ruang
redaksi dan memamerkan foto dirinya
bersama Munarman, Komandan Komando
Laskar Islam, yang saat itu ditahan karena
melakukan kekerasan terhadap anggota Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan
Beragama & Berkeyakinan (AKKBB).

Wartawati itu dengan bangga menyebut
bahwa Munarman adalah pahlawan Islam,”
tulisnya. Mungkin maksud Andy, haram bagi si
wartawati menfigurkan sosok Munarman. Di
mana saat itu media maenstrem saat itu
bersepakat “mendudukan” FPI dan
Munarman sebagai sosok “penjahat’ berjuluk
pelaku kekerasan agama. Padahal, dalam artikel opininya di hidayatullah.com (10/06/2008) , Amran Nasution, mantan wartawan TEMPO menulis,
bahwa tanpa pengecekan, koran TEMPO
memuat foto mencolok Munarman mencekik
seseorang yang disebutnya sebagai anggota
AKKBB, padahal Munarman saat itu sedang
mencegah anggotanya sendiri yang berbuat anarkis.

Jika semua kliping koran kasus itu di buka,
hampir bisa ditemukan, semua koran-koran
besar dan media online telah keliru
memasang foto dan berita salah ini. Namun,
tak pernah kami temukan, kata “maaf” atas
kesalahan ini, baik sehari, seminggu sampai beberapa tahun peristiwa ini terjadi. Artinya apa? artinya, meski media-media
besar dan media maintream telah
mempublikasikan berita yang salah, mereka
tetap ogah meminta maaf. Maklum, FPI dan
Munarman, adalah kelompok radikal, dan
tidak layak meminta maaf padanya. Ini belum termasuk kasus “pria bersenjata
yang menodongkan pistol” dari rombongan
AKKBB yang dinilai pemicu bentrokan terjadi,
yang akhirnya diabaikan media dan polisi.
Sebab, dalam banyak tulisan dan
reportasenya, media saat itu, lebih suka menggiring oponi agar FPI, Munarman dan
Habib Rizieq Shihab segera ditangkap. Sedang si ‘pria bersenjata’ yang ikut
rombongan AKKBB itu tak pernah disentuh
hukum dan ditelusuri oleh media-media
mainstream hingga kasus ini ditelan massa.

Dari fakta-fakta yang dikemukakan, Andy
secara tidak adil telah mengabaikan fakta-
fakta tersebut. Siapa mentirani siapa? Entah apa maksud dan tujuannya, tapi yang
jelas Andy Budiman seperti ingin
memperlihatkan bahwa media dan
wartawan Indonesia sekarang ini sedang di
bawah “tirani” umat Islam yang
disebutnya mayoritas. Padahal jika kita mau melihat kembali, bukankah umat Islam yang
selama ini menjadi korban tirani media dan
minoritas?.

Contohnya, seperti kasus yang pernah
menimpa massa FPI akibat pemberitaan
yang tidak berimbang dan tidak covered
from both sides saat kerusuhan Ciketing
Desember 2010 silam. Kemudian pada saat umat Islam berusaha
untuk membela agamanya dari penistaan
dan penodaan agama, umat Islam dianggap
telah melanggar hak konstitusional orang
lain. Contohnya, seperti yang terjadi pada kasus
Ahmadiyah,

saat saya menyaksikan acara
Suara Anda: Suara Konstitusi tentang
Pancasila di Metro TV, pada tanggal 27 April
lalu, dengan pembicara Mahfud MD (Ketua
Hakim MK), Yudi Latief (Penulis buku Negara Paripurna) dan Lukman Hakim (Wakil Ketua
MPR). Saat membicarakan tentang Pancasila sila
pertama, Metro TV kembali menayangkan
tentang Ahmadiyah dan isu “Operasi
Sajadah” yang dilakukan oleh TNI terhadap
Ahmadiyah, di tayangan itu pula Metro
mengomentari bahwa Ahmadiyah telah dipenggal Hak Konstitusinya oleh para kepala
daerah yang mengeluarkan Perda
pelarangan terhadap aktivitas Jemaat
Ahmadiyah, padahal di dalam Undang-Undang
Dasar 1945 sudah jelas bahwa setiap orang
mempunyai hak untuk bebas beragama dan berkeyakinan. Tapi ternyata menurut Undang-Undang
Dasar, hak untuk bebas beragama dan
berkeyakinan tersebut tetap tidak boleh
mengganggu hak orang lain (lihat pasal 28J
ayat 2 tentang HAM). Jadi, sebenarnya siapa men-tirani siapa? Dilema Umat Islam Sesungguhnya, yang mengalami tirani adalah
umat Islam yang merupakan mayoritas di
Indonesia. Hal ini tentu sangat aneh,
‘minoritas’ mentirani ‘mayoritas’. Bahkan,
umumnya, media menjadi tirari baru kepada
umat slam.Tapi itulah kenyataannya dan kenyataan ini berusaha dibalik oleh Andy.

Pada alinea ketiga, di sub-judul “Dalam
Belenggu Mayoritas”, Andy Budiman juga
menuliskan: “Warga Kristen Indonesia berdemonstrasi
di Jakarta terhadap semakin meningkatnya
kekerasan bersifat keagamaan, yang
terutama terjadi di Jawa Barat. Diskriminasi
terhadap kelompok minoritas belakangan
bahkan dijalankan aparatur pemerintahan secara sistematis.” Kalau benar adanya, kenapa Andy tidak
mengungkap juga kasus kekerasan dan
pemurtadan yang dialami oleh umat Muslim
di Ambon? Akibat kekerasan SARA banyak
masjid yang hangus dan ratusan rumah
Muslim Ambon yang terbakar, sehingga mengakibatkan puluhan warga Muslim
terluka dan beberapa di antaranya ada yang
meninggal. Sebagai seorang jurnalis, seharusnya Andy
bisa bersikap adil, sebagaimana tercantum
dalam Kode Etik Wartawan Indonesia pasal 5
bahwa setiap wartawan harus menyajikan
berita secara berimbang dan adil. Apa yang dimaksud sistematis yang dimaksu
Andy?
Tuduhannya seperti ini selain sebuah
provokasi murahan juga bisa sebuah fitnah
yang tak layak disampaikan oleh seorang
berprofesi wartawan yang biasanya sangat hati-hati menyampaikan fakta. Dari berbagai tulisannya, Andy Budiman juga
nampak menampik fakta sejarah bahwa dari
sejak Orde Lama hingga reformasi, aparatur
pemerintah justru masih banyak menzalimi
umat Islam dan belum memihak secara adil.

Apakah Andy lupa, bahwa dari sejak
Republik ini lahir, umat Islam juga
mengalami dilema dan diskriminasi dalam
beragama. Pada jaman Orde Lama, tujuh kata
“Kewajiban Menjalankan Syari’at Islam bagi
Pemeluk-Pemeluknya” pernah di hapus dari Piagam Jakarta, selain itu tujuh kata tersebut
pernah tercantum dalam Pancasila sila
Pertama tetapi kemudian diganti menjadi
“Ketuhanan Yang Maha Esa”, dengan
alasan yang hingga kini masih kontroversi
bahwa pihak Kristen akan memisahkan diri dari Negara Indonesia. Kemudian, seperti dilansir dari
republikaonline (10/07/2011), umat Islam
juga baru-baru ini mengalami diskriminasi,
dimana hal ini terjadi pada siswa muslim di
Sebuah SMP Negeri Selat Kuala Kapuas,
Banjarmasin, Kalimantan Selatan, yang dilarang untuk memakai jilbab oleh sekolah
tersebut.

Yang terbaru, umat Islam yang ingin
menjalankan syari’at Islam secara kaffah
juga sudah dituduh yang bukan-bukan,
seperti dicap fundamentalis, anti Pancasila
dan “teroris”. Tapi apakah dengan
tuduhan itu Islam dan melakukan kekerasan? Yang terjadi justru masyarakat sering
menjadi korban stigma pers yang buru-buru
menyebut seseorang dengan tuduhan
‘kelompok radikal’ atau ‘teroris’. Jadi siapa tirani minoritas? Memang, tidak mudah bagi wartawan dan
media untuk menulis dan memuat berita
dengan jernih dan sesuai dengan Kode Etik
Wartawan Indonesia (KEWI), apalagi yang
berhubungan dengan SARA. Sedangkan bagi
penikmat berita sendiri apalagi yang awam rasanya sangat sulit untuk membedakan
mana berita yang benar karena kebanyakan
media sekarang memuat berita hanya ingin
menaikkan rating ataupun oplah, tidak
perduli dengan akibat yang ditimbulkan dari
yang diberitakannya tersebut.

Sudah cukup rasanya bagi umat Islam
dibelenggu oleh berita-berita yang tidak adil
dan tidak berimbang. Memang tidak mudah
bagi wartawan untuk menulis dengan jernih
di masa kebangkitan agama meski sudah
menggunakan istilah “Aliansi Jurnalis untuk Keberagaman”. Setidaknya, tulisan Andy
Budiman telah memberikan saya pelajaran
berharga, bagaimana Islam dan Rasulullah
Muhammad bisa berlaku adil, bahkan
terhadap musuh yang paling ia benci
sekalipun.

Penulis adalah seorang jurnalis muda, tinggal
di Jakarta

RUU Intelejen bertentangan dengan demokrasi yang dikoar-koarkan Indonesia

RUU Intelejen bertentangan dengan demokrasi yang dikoar-koarkan Indonesia

JAKARTA :Isi draft RUU Intelijen yang tumpang tindih merupakan bentuk arogansi yang akan menciptakan kekuasaan tanpa batas yang justru bertentangan dengan demokrasi yang dikoarkan-koarkan oleh bangsa Indonesia, demikian yang diungkapkan Ketua Dewan Pembina Tim Pengacara Muslim (TPM)Muhammad Mahendradatta. RUU Intelijen tidak mencerminkan negara yang demokratis.
Indonesia yang mengaku demokrasi, seharusnya tidak membuat UU yang membolehkan menangkap orang tanpa pengadilan. “Dalam RUU ini pengadilannya ditutup,orang bisa menangkap siapa saja tanpa pengadilan. Ini artinya, demokrasi yang mereka agung-agungkan itu Cuma lips service alias omong kosong,” tandasnya. Lebih lanjut Mahendradatta mengatakan bahwa tidak perlu ada UU Intelijen yang memberikan wewenang kepada intel untuk menangkap, menyadap atau membunuh. “Intel dimana-mana di seluh dunia, setiap aksinya selalu rahasia. Bila sampai ketahuan, maka itu kebodohan intelijen.

Bahkan ada satu negara yang menyatakan, kalau kamu sampai ketahuan, maka negara akan menolak keterlibatan I dalam operasi seorang intel. Kerja intel itu seperti siluman,Lha, ini malah mau dipamer, diundang-undangkan. Ini jelas proyek saja,” ujarnya. Terkait hal tersebut, Mahendradatta meminta BIN untuk membaca UU Terorisme dengan lebih seksama, pasalnya tidak ada lagi UU yang lebih keras melebihi UU tersebut saat ini.
Bahkan pasal dalam UU Terorisme pada dasarnya adalah pasal karet, sehingga Ustadz Abu Bakar Ba’asyir bisa terjerat. ‘Hanya’ dengan UU Terorisme saja,aparat sudah bisa main comot sana-sini semaunya, bahkan setelah Ustadz Abu ditangkap, tetap saja bom marak dimana-mana. “Jadi apa gunanya Ustadz Abu ditangkap?Katanya dituduh sebagai otak? Kalau dianggap otaknya sudah ditangkap,seharusnya kan selesai. Tapi, nyatanya,pengeboman itu justru banyak terjadi disaat Ustadz Abu berada di dalam tahanan.

Sebagai contoh, Ustadz Abu dituduh sebagai otaknyabom Bali. Begitu Ustadz Abu ditangkap,pemboman bukannya selesai, tapi tetap terus terjadi,” paparnya. Sementara itu, anggota DPD RI AM Fatwa berpendapat, RUU Intelijen yang sekarang dinilai sudah bersifat kompromi. Sejak Sembilan tahun lalu (pasca Bom Bali ISeptember 2002), pemerintah mengajukan RUU ini, namun ditolak oleh DPR karena dianggap mengandung banyak unsur-unsur represif. “Saat ini, masih ada sekitar 25 persen pasal yang represif. Namun, pasal represif itu saya kira sudah dihilangkan dari RUU ini.

Cuma yang perlu diantisipasi, pelaksanaan RUU ini masih orang-orang yang berparadigma Orde Baru. Sebaik apapun UU-nya, kalau para pelaksana intelijen di lapangan itu produk lama, agak sulit meninggalkan kebiasaan lamanya” ungkapnya. Lebih lanjut AM Fatwa menjelaskan bahwa intelijen saat ini masih banyak dari hasil didikan paradigma intelijen Orde Baru. “Saya sendiri termasuk korban produk intelijen lama. Saya ditangkap sewenang-wenang tanpa surat penangkapan.
Saya sampai pernah diadili dan dituntut penjara seumur hidup, lantas dijatuhi hukuman penjara selama 18 tahun. Barulah setelah mau disidangkan, dibuatkan surat penangkapan dengan tanggal dimundurkan.Semua itu sulit saya tentang, karena posisi saya lemah sebagai seorang tahanan,”kenangnya. Makanya, ketika eksekusi, AM Fatwa tidak mau tanda tangan, Itu merupakan sebagai bentuk perlawanan. Tapi, eksekusinya tetap saja jalan.

Akibat kerja intelijen di masa Orde Baru dengan paradigma otoriter, banyak korban yang meninggal di dalam tahanan.